Sekarang ada cahaya yang menemani. Dia jingga yang melingkupi sumbu. Badan putihnya semakin mencair. Lilin dan aku saling menemani saat ini. Malamku ini sungguh gelap. Seluruh wilayah di kotaku menerima pemadaman listrik dengan hati yang terpaksa ikhlas.
Aku: bosannya aku mala mini lilin, seharusnya aku bisa mengerjakan proposal skripsiku yang sudah 2 bulan stagnasi.
Lilin masih hening, dia terus berdiri tegak, nyala itu berusaha bertahan ditengah tiupan angin malam yang masuk lewat celah-celah bawah pintu. Aku mengamati badannya yang semakin mengecil, lelehannya seperti larva di gunung merapi yogya yang terus mengalir dari mulut kawah desember 2010 lalu. Tapi aku tidak bisa menganalogikan sesuatu dari lilin sebagai “Wedus Gembel”.
Aku : bicaralah padaku lilin, aku bosan, aku tidak suka gelap begini rasanya sesak.
Jemariku mulai bergerak menekan-nekan lelehan lilin yang berwarna putih.
“berhentilah melakukan itu!”
Aku menoleh dan mencari suara dalam remang-remang disekelilingku. Aku sadar teman sekamarku sudah pamit keluar padaku sedari tadi. Oh dia meninggalkan aku dalam gelap malam. Aku sendirian, aku kesal, tapi tunggu! Itu suara siapa sebenarnya?
“kau mengajakku bicara, sekarang katakan apa maumu?”
Lagi suara itu, aku tak tau dari mana asalnya. Ia sedang mengajakku bicara. Ataukan kamu itu lilin? Aku merasakan kehangatan itu, dan menyaksikan ukiran senyum pada lilin yang kuamati sedari tadi. Sebatang lilin yang menemani dan menerani kamarku.
“Ajaklah aku bicara lilin, kini hanya tinggal kita berdua dikamar ini, aku bingung harus melakukan apa, aku tak bisa berbuat apa-apa dalam gelap tanpa ada listrik.”
“kau tau, betapa senangnya menjadi kamu, dapat berbuat apapun untukmu dan orang lain.”
“maksudmu lilin? Ceritakan lebih banyak lagi padaku, buat aku mengerti.”
Hujan menambah sedikit sentuhan malam ini, rasa dingin perlahan merambah hingga ke dalam pori-pori.
“kamu bisa bergerak sebebas yang kamu mau, atau diam sesuai keinginan hatimu, kamu bisa berekspresi seperti apapun yang kamu mau.”
Hening kembali meliputi ruangan, kudengarkan azan isya berkumandang dari meunasah yang berjarak 5 rumah dari tempat tinggalku.
“lnjutkan lagi lilin, azan sudah selesai.”
“tidakkah kau sadari apapun di dunia ini, Tuhanmu ciptakan semua penuh arti, dan kamu bagian dari arti-arti tersebut.’
“lilin aku merasa kosong, aku rapuh, rasanya aku tak bisa lakukan apapun, aku merasa mati setengah, kadang aku merasa gagal sebelum perang.”
“percayalah pada kemampuanmu, pengorbananmu takkan sia-sia. Bila ada yang belum terlaksana hari ini, Mungkin tertunda untuk hari esok.”
“apakah kamu bahagia lilin. Dengan hanya mematung dan meleleh seperti itu?”
“tentu, setidaknya aku bisa jadi terang dalam gelap hidupmu, meski sesat dan aku harus mati, kemudian wujudku hilang tak menyala lagi, asalkan hidupku ada arti, aku lakukan itu.”
Aku diam, lilin benar, hidupku banyak mengeluh, sedangkan lilin terlalu sabar menghadapi hidup. Benda matipun punya keinginan bagaimana bisa aku tidak? Aku akan menjadi lebih baik dari lilin, memberikan dunia ini cahaya dengan senyum, semangat dan tindakanku.