Sunday, April 29, 2012

sepotong cinta terakhir

Menjadi yang terbuang tidaklah enak, apalagi benar-benar dibuang. Rasanya seperti ingin  menghilang dari dunia ini saja. Bagaimanakah yang Tia rasakan? Adik perempuanku yang lahir setelah aku, divonis oleh dokter menderita psizofrenik di usianya yang ke 17 tahun. Sekarang sudah lebih setahun dia menderita penyakit tersebut. Apakah dia benar merasakan sangat terbuang sekarang? Semenjak penyakit tersebut menggerogoti kejiwaannya?
Handphoneku berdering jam 9 malam, mama meneleponku dari rumah. Suara mama tidak ceria seperti biasanya. Hanya menanyakan keadaanku sekenanya saja dan langsung meluapkan kekesalan  atas apa yang terjadi dirumah. Sebagai anak perempuan dan anak yang tertua sudah menjadi tugasku mendengarkan curhatan, keluhan kekesalah kedua orang tuaku. Kepada siapa lagi mereka bercerita kalau bukan kepadaku?
Mama ingin adik perempuanku di bawa kerumah sakit jiwa. Mama sudah tidak sanggup lagi merawatnya, mama sudah lelah, tidak ada kompromi lagi. Mendengarnya kepalaku seperti di hujam palu dan kejatuhan gunung seulawah. Tuhan, hal yang aku paling tidak ingin dengarkan, hal yang aku cemaskan terjadi, meskipun belum sepenuhnya.
Mama mengungkapkan kekecewaan karena papa tidak merespon sepenuh hati untuk pengobatan Tia. Sudah lama mama mengajak papa untuk membawa Tia berobat, baik secara medis maupun obat kampung, tapi papa tidak serius. Aku sendiri tidak bisa menyalahkan papa secara keseluruhan, karena papa juga sibuk dengan pekerjaannya. Aku hanya ingin mama sedikit lebih bersabar menghadapi adikku. Ya, hanya kesabaranlah yang sangat dibutuhkan saat sekarang ini. Dengan kondisi adikku yang sangat labil. Terkadang dia bisa menjadi begitu pendiam, terkadang dia marah-marah sendiri, terkadang dia bergumam sendiri seperti ada lawan bicara disampingnya, dan lebih parahnya dia semakin sering merusak barang-barang yang ada disekelilingnya.
Aku tidak tahu apakah dia benar-benar menderita penyakit tersebut. Perasaan yang paranoid terhadap apapun, kepada siapapun yang berada disekelilingnya bahkan kepada keluarganya dan kesadaran yang semakin hari semakin menurun membuatkku semakin hari mau tak mau mengakui gejala yang dia tunjukkan sama seperti indikasi psizofrenik paranoid.
Tetap saja aku masih meyakinkan diri sendiri, bahwa itu bukanlah hanya psizofrenik belaka, ada penyebab lain sehingga dia mengalami gejala seperti itu. Meskipun ini jaman modern yang tak selayaknya lagi berpikiran serperti yang aku pikirkan, tapi tetap saja itu masih terjadi, sehingga aku selalu memikirkannya ribuan kali, dan benar apa yang aku pikirkan sebenarnya terjadi.
Tia bukan hanya mengalami disorder kejiwaan, kata orang alim di sekitar kampungku, dia seperti di sambar oleh ilmu hitam, serpihan yang mengenainya. Apakah masih ada yang begituan di zaman serba canggih seperti ini? Kalau aku tidak pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri tentu aku juga tidak akan berbicara seperti ini dan meyakininya. Namun dari usiaku 9 tahun aku sudah terbiasa menyaksikan bagaimana ibuku mengalami kesakitan akibat diguna-guna. Dari semua anggota keluargaku, Tia lah yang paling lemah sehingga dia juga kena serpihan guna-guna dari ibuku. Sepintas lalu memang seperti sebuah lelucon, dengan pembahasan yang tidak sesuai dengan sains, tapi ini memang kenyataan, penyakit yang tidak bisa di definisikan dengan ilmu pengetahuan.
Saat sekarang ini aku hanya berfikir tentang perasaan Tia seandainya dia benar-benar dimasukkan ke rumah sakit. Mama sudah sangat serius sampai mengancam kalau akan pergi dari rumah kalau adikkku tidak dimasukkan ke rumah sakit. Aku benar-benar terpukul mendengarnya. Itu seperti bukan mama, bagaimana mama bisa mengeluarkan kata-kata seperti itu? Mama yang biasanya sangat sabar, selalu survive akan masalah, selalu memberikan nasehat dan falsafah hidup, memotivasiku agar terus mengejar mimpi dan masa depan, kini mama menyerah. Mama, apakah aku tidak salah dengar ma? Sekali lagi gunung Himalaya jatuh ke atas kepalaku. Dan otakku jauh lebih sakit.
 Tuhan, ini cobaan atau hukuman? Berkali-kali aku bertanya dalam hati, dosa apakah di masa lalu yang dibuat oleh keluargaku, apakah salah Tia hingga dia menanggung ini semua? Dia masih sangat muda. Masa depannya masih sangat panjang. Tuhan, aku hanya tidak tahu harus bagaimana, sebesar apapun sayangku  dan ketulusanku untuk dia tetap saja aku tidak bisa berada di dekatnya. Aku tidak bisa merawatnya, setiap berada di dekatnya aku akan berubah menjadi sangat kasar dan pemarah, dan aku bisa saja mendiamkannya atas segala kelakuaannya yang sangat menjengkelkan, terlepas dia sadar atau tidak dengan kelakuannya tapi itu benar-benar menjengkelkan.
Aku mengambil keputusan untuk tetap merantau meskipun sudah menyelesaikan studiku juga karena tidak ingin berada di dekat dia. Bukan berarti aku membencinya, tapi berada di dekatnya membuatku juga ikut sakit, aku tidak tau mengapa. Tapi aku benar-benar merasakan kesedihan yang teramat dalam melihat kondisinya yang semakin hari tidak menunjukkan perubahan kearah yang lebih baik.
Tuhan, apakah tidak ada jalan lain supaya adikku sembuh? Apakah memang harus dibawa ke rumah sakit? Bagaimana perasaan dia nanti? Apakah dia akan betah di sana? Mungkinkah dia sadar? Akankah dia merasa terluka? Merasa di buang? Tidak dibutuhkan? Tidak disayang lagi? Tidak dianggap? Semua pertanyaan ini menggelantung di kepalaku.
Aku bisa merasakan semuanya, meskipun belum terjadi sepenuhnya. Kadang aku ingin menjadi temannya, menjadi tempat dia bersandar, mengadu, berkeluh kesah, mempercayai masalahnya padaku. Tapi kenyataannya dia tidak pernah bercerita apa-apa padaku, dia lebih memilih memendam semua masalah, kesedihan, kegembiraan untuknya sendiri. Dia bahkan tidak percaya kepada siapapun di rumah, aku, adik lelakiku, mama, maupun papa. Tidak ada seorangpun di rumah yang tau pasti apa yang sebenarnya dia rasakan.
Melihat kondisinya kadang pikiran gilaku pun muncul. Sempat aku berpikir kenapa tidak Engkau cabut saja nyawanya Tuhan? Agar dia tidak menderita berkepanjangan seperti ini. Namun setelah itu aku mengutuki diri sendiri atas pikiranku. Dia saudaraku, dia adikku, berkali-kali aku meneriaki diriku sendiri, menyadarkan diri bahwa pikiran yang terlintas itu adalah hal yang tidak pantas dipikirkan oleh seorang kakak terhadap adik kandungnya.
Kadang aku merenungi perlakuan yang pernah diterima oleh adikku semasa kecilnya, terlebih dariku. Aku berfikir dari kecil sebenarnya hatinya sudah sangat terluka. Maka dari itu Tuhan aku mohon maaf. Tia, kak nyak minta maaf, untuk semua yang pernah kak nyak buat. Memarahimu, memukulmu, cemburu atas kasih sayang mama dan papa ke kamu, tidak pernah bersahabat denganmu, selalu menganggap kehadiranmu adalah pengganggu, mendiamkankanmu dan menganggap kamu tidak pernah ada. Kak nyak minta maaf, untuk semua tindakan yang mungkin tidak pernah bisa di maafkan. Meskipun kini sudah terlambat, tapi tetap ingin meminta maaf. Hanya ingin meringankan semua penyesalan dan rasa bersalah kepada adikku tersayang. Maafin kak nyak. L

No comments:

Post a Comment