Menjadi yang terbuang
tidaklah enak, apalagi benar-benar dibuang. Rasanya seperti ingin menghilang dari dunia ini saja. Bagaimanakah
yang Tia rasakan? Adik perempuanku yang lahir setelah aku, divonis oleh dokter
menderita psizofrenik di usianya yang ke 17 tahun. Sekarang sudah lebih setahun
dia menderita penyakit tersebut. Apakah dia benar merasakan sangat terbuang
sekarang? Semenjak penyakit tersebut menggerogoti kejiwaannya?
Handphoneku berdering
jam 9 malam, mama meneleponku dari rumah. Suara mama tidak ceria seperti
biasanya. Hanya menanyakan keadaanku sekenanya saja dan langsung meluapkan
kekesalan atas apa yang terjadi dirumah.
Sebagai anak perempuan dan anak yang tertua sudah menjadi tugasku mendengarkan curhatan,
keluhan kekesalah kedua orang tuaku. Kepada siapa lagi mereka bercerita kalau
bukan kepadaku?
Mama ingin adik
perempuanku di bawa kerumah sakit jiwa. Mama sudah tidak sanggup lagi
merawatnya, mama sudah lelah, tidak ada kompromi lagi. Mendengarnya kepalaku
seperti di hujam palu dan kejatuhan gunung seulawah. Tuhan, hal yang aku paling
tidak ingin dengarkan, hal yang aku cemaskan terjadi, meskipun belum
sepenuhnya.
Mama mengungkapkan
kekecewaan karena papa tidak merespon sepenuh hati untuk pengobatan Tia. Sudah
lama mama mengajak papa untuk membawa Tia berobat, baik secara medis maupun
obat kampung, tapi papa tidak serius. Aku sendiri tidak bisa menyalahkan papa
secara keseluruhan, karena papa juga sibuk dengan pekerjaannya. Aku hanya ingin
mama sedikit lebih bersabar menghadapi adikku. Ya, hanya kesabaranlah yang
sangat dibutuhkan saat sekarang ini. Dengan kondisi adikku yang sangat labil.
Terkadang dia bisa menjadi begitu pendiam, terkadang dia marah-marah sendiri,
terkadang dia bergumam sendiri seperti ada lawan bicara disampingnya, dan lebih
parahnya dia semakin sering merusak barang-barang yang ada disekelilingnya.
Aku tidak tahu apakah
dia benar-benar menderita penyakit tersebut. Perasaan yang paranoid terhadap
apapun, kepada siapapun yang berada disekelilingnya bahkan kepada keluarganya
dan kesadaran yang semakin hari semakin menurun membuatkku semakin hari mau tak
mau mengakui gejala yang dia tunjukkan sama seperti indikasi psizofrenik
paranoid.
Tetap saja aku masih
meyakinkan diri sendiri, bahwa itu bukanlah hanya psizofrenik belaka, ada
penyebab lain sehingga dia mengalami gejala seperti itu. Meskipun ini jaman
modern yang tak selayaknya lagi berpikiran serperti yang aku pikirkan, tapi
tetap saja itu masih terjadi, sehingga aku selalu memikirkannya ribuan kali,
dan benar apa yang aku pikirkan sebenarnya terjadi.
Tia bukan hanya
mengalami disorder kejiwaan, kata orang alim di sekitar kampungku, dia seperti
di sambar oleh ilmu hitam, serpihan yang mengenainya. Apakah masih ada yang
begituan di zaman serba canggih seperti ini? Kalau aku tidak pernah menyaksikan
dengan mata kepala sendiri tentu aku juga tidak akan berbicara seperti ini dan
meyakininya. Namun dari usiaku 9 tahun aku sudah terbiasa menyaksikan bagaimana
ibuku mengalami kesakitan akibat diguna-guna. Dari semua anggota keluargaku,
Tia lah yang paling lemah sehingga dia juga kena serpihan guna-guna dari ibuku.
Sepintas lalu memang seperti sebuah lelucon, dengan pembahasan yang tidak
sesuai dengan sains, tapi ini memang kenyataan, penyakit yang tidak bisa di
definisikan dengan ilmu pengetahuan.
Saat sekarang ini aku
hanya berfikir tentang perasaan Tia seandainya dia benar-benar dimasukkan ke
rumah sakit. Mama sudah sangat serius sampai mengancam kalau akan pergi dari
rumah kalau adikkku tidak dimasukkan ke rumah sakit. Aku benar-benar terpukul
mendengarnya. Itu seperti bukan mama, bagaimana mama bisa mengeluarkan
kata-kata seperti itu? Mama yang biasanya sangat sabar, selalu survive akan
masalah, selalu memberikan nasehat dan falsafah hidup, memotivasiku agar terus
mengejar mimpi dan masa depan, kini mama menyerah. Mama, apakah aku tidak salah
dengar ma? Sekali lagi gunung Himalaya jatuh ke atas kepalaku. Dan otakku jauh
lebih sakit.
Tuhan, ini cobaan atau hukuman? Berkali-kali
aku bertanya dalam hati, dosa apakah di masa lalu yang dibuat oleh keluargaku,
apakah salah Tia hingga dia menanggung ini semua? Dia masih sangat muda. Masa
depannya masih sangat panjang. Tuhan, aku hanya tidak tahu harus bagaimana,
sebesar apapun sayangku dan ketulusanku
untuk dia tetap saja aku tidak bisa berada di dekatnya. Aku tidak bisa
merawatnya, setiap berada di dekatnya aku akan berubah menjadi sangat kasar dan
pemarah, dan aku bisa saja mendiamkannya atas segala kelakuaannya yang sangat
menjengkelkan, terlepas dia sadar atau tidak dengan kelakuannya tapi itu
benar-benar menjengkelkan.
Aku mengambil keputusan
untuk tetap merantau meskipun sudah menyelesaikan studiku juga karena tidak
ingin berada di dekat dia. Bukan berarti aku membencinya, tapi berada di
dekatnya membuatku juga ikut sakit, aku tidak tau mengapa. Tapi aku benar-benar
merasakan kesedihan yang teramat dalam melihat kondisinya yang semakin hari
tidak menunjukkan perubahan kearah yang lebih baik.
Tuhan, apakah tidak ada
jalan lain supaya adikku sembuh? Apakah memang harus dibawa ke rumah sakit?
Bagaimana perasaan dia nanti? Apakah dia akan betah di sana? Mungkinkah dia
sadar? Akankah dia merasa terluka? Merasa di buang? Tidak dibutuhkan? Tidak
disayang lagi? Tidak dianggap? Semua pertanyaan ini menggelantung di kepalaku.
Aku bisa merasakan
semuanya, meskipun belum terjadi sepenuhnya. Kadang aku ingin menjadi temannya,
menjadi tempat dia bersandar, mengadu, berkeluh kesah, mempercayai masalahnya
padaku. Tapi kenyataannya dia tidak pernah bercerita apa-apa padaku, dia lebih
memilih memendam semua masalah, kesedihan, kegembiraan untuknya sendiri. Dia
bahkan tidak percaya kepada siapapun di rumah, aku, adik lelakiku, mama, maupun
papa. Tidak ada seorangpun di rumah yang tau pasti apa yang sebenarnya dia
rasakan.
Melihat kondisinya
kadang pikiran gilaku pun muncul. Sempat aku berpikir kenapa tidak Engkau cabut
saja nyawanya Tuhan? Agar dia tidak menderita berkepanjangan seperti ini. Namun
setelah itu aku mengutuki diri sendiri atas pikiranku. Dia saudaraku, dia
adikku, berkali-kali aku meneriaki diriku sendiri, menyadarkan diri bahwa
pikiran yang terlintas itu adalah hal yang tidak pantas dipikirkan oleh seorang
kakak terhadap adik kandungnya.
Kadang aku merenungi
perlakuan yang pernah diterima oleh adikku semasa kecilnya, terlebih dariku.
Aku berfikir dari kecil sebenarnya hatinya sudah sangat terluka. Maka dari itu
Tuhan aku mohon maaf. Tia, kak nyak minta maaf, untuk semua yang pernah kak
nyak buat. Memarahimu, memukulmu, cemburu atas kasih sayang mama dan papa ke
kamu, tidak pernah bersahabat denganmu, selalu menganggap kehadiranmu adalah
pengganggu, mendiamkankanmu dan menganggap kamu tidak pernah ada. Kak nyak
minta maaf, untuk semua tindakan yang mungkin tidak pernah bisa di maafkan.
Meskipun kini sudah terlambat, tapi tetap ingin meminta maaf. Hanya ingin
meringankan semua penyesalan dan rasa bersalah kepada adikku tersayang. Maafin
kak nyak. L
No comments:
Post a Comment